Berawal dari mimpi untuk menjadi orang tua yang sholeh-sholehah bagi anak-anak kami. Berharap dapat menemani serta mengantarkan mereka tumbuh & berkembang menjadi anak-anak sholeh-sholehah yang kelak dapat menjalankan peran peradabannya / misi spesifiknya sebagai khalifah di muka bumi ini. Kami pun dipertemukan Allah dengan para orang tua hebat dalam grup HE-BPA (Home Education -Berbasis Potensi & Akhlak), dalam rangka sama-sama belajar dan berbagi ilmu. Diskusi perdana di grup WA HE-BPA pada tanggal 27 November kemarin membahas tentang “HOW TO START HOME EDUCATION?” yang diisi langsung oleh Subject Matter Expert (SME) tetap kami yaitu Bapak Harry Santosa (founder MLC sekaligus praktisi HE sejak 1994).
Panduan bagi Home Education/HE, adalah menjaga fitrah yang baik dengan cara MENUMBUHKAN dan MENGELUARKAN fitrah-fitrah baik (inside out) yang Allah karuniakan kepada anak-anak kita. Bukan proses penjejalan/ “outside in”. Diantara Fitrah itu adalah bahwa setiap anak yang lahir adalah pembelajar yang tangguh. Potensi fitrah belajar ini harus dibebaskan dan tidak boleh kaku dan dalam tekanan nilai.
Mendidik secara “Inside out” adalah dengan:
1. Menyadari bahwa setiap anak telah terinstal setidaknya 4 fitrah utama, yaitu:
a. fitrah keimanan,
b. fitrah pembelajar yang tangguh,
c. fitrah potensi bakat,
d. fitrah perkembangan
2. Membangkitkan kesadaran atas fitrah itu dengan cara dan metode yang sesuai tahap perkembangannya.
Contohnya untuk usia 0-7 tahun, mencontohkan amal sholeh dan akhlakul karimah, menginspirasi kisah-kisah kepahlawanan orang-orang besar, membangun imaji-imaji positif tentang Allah, tentang ciptaan Allah pada alam, pada diri, pada masyarakat dll adalah proses “inside out” . Tetapi memaksanya dengan flashcard, menyuruhnya membaca satu buku sepekan , menargetkan belajar, memaksanya sholat dll adalah “outside in”. Kita tidak yakin pada fitrah ciptaan Allah bahwa anak kita adalah pencinta ilmu, pembelajar tangguh, dll
Ini yang pak Harry sebut merusak fitrah karena ketidakyakinan orang tua akan karunia Allah swt. Sudah banyak riset yang membuktikan bahwa anak-anak adalah pembelajar yang tangguh, kita hanya perlu membangkitkannya dengan menginspirasi, keteladanan, keikhlashan, ketulusan dsbnya.
Sejak anak dalam kandungan sampai lahir pada galibnya sudah mengalami home education. Tugas HE itu sampai anak kita berusia aqil baligh. Kalau wanita ada special exception, yaitu sampai pindah wali alias menikah, walau kemandirian dan kedewasaan tetap harus disiapkan ketika berusia aqil baligh.
Secara umum tahapan usia dibagi sebelum aqilbaligh dan sesudah aqil baligh, kemudian dibreakdown menjadi 4 tahap, 0-7 tahun, 8- 10 tahun, 11-14 tahun, 15 tahun >. Pada setiap tahap itu fitrah keimanan, fitrah belajar, fitrah bakat, fitrah perkembangan akan “dididik” sehingga fitrah itu tumbuh secara utuh dan mencapai insan kamil pada waktunya. Tazkiyatunnafs orangtua atau pensucian atau penyadaran jiwa ini adalah sebagai pembuka untuk memulai pendidikan keluarga.
Menjalankan HE adalah perubahan mindset yang mengakar, umumnya kita terlalu banyak memaknakan pendidikan dengan persekolahan akademis, parenting pengasuhan, cara-cara manipulatif agar anak rajin belajar dstnya tanpa mempertimbangkan fitrah-fitrah tadi. Contohnya melatih disiplin, ini adalah area performance karakter, dan karakter anak terkait sifat-sifat produktifnya. Anak-anak akan mampu berdisiplin dengan baik atas keinginannya sendiri, yaitu apabila melakukan aktifitas yang sesuai minatnya dan sifat produktifnya. Membantu anak-anak agar disiplin, tentu berbeda antara anak-anak yang suka beres-beres dengan anak-anak yang suka berkreasi, antara anak yang suka memimpin dengan anak yang suka kompetisi dstnya. Potensi anak ini akan dibahas pada pembahasan mengenal potensi anak. Contoh ini untuk anak yang sudah terlihat potensi dan minatnya biasanya di atas 7 tahun. Namun untuk usia di bawah 7 tahun tentu “disiplin” akan berbeda. Pada usia ini anak-anak lebih membutuhkan keteladanan sehari dan imaji-imaji positif terhadap suatu aktifitas, sehingga mereka menyukainya dan terbiasa. Sulit menyuruh anak di bawah 7 tahun sholat dengan “disiplin” bukan? Karena fokusnya bukan pada disiplinnya tetapi imaji-imaji positif tentang sholat di dalam benaknya, bagaimana ayah bunda nya sholat dengan bahagia dan ceria, bagaimana mereka boleh main kuda-kudaan di punggung ayahnya ketika sholat dll.
Anak-anak di bawah 7 tahun belum punya idea tentang nilai, value dll. Ego mereka besar, mereka merasa pusat alam semesta. Yang mereka tahu mana yang nyaman utk diri mereka dan mana yang tidak nyaman. Rasulullah saw juga membiarkan cucunya Hasan ra dan Husein ra menaiki punggung beliau hingga puas.
Besok-besok mereka akan suka banget lihat ayahnya sholat, lihat bundanya ceria setiap dengar adzan, karena sesuatu yang nyaman dan menyenangkan. Lama-lama mereka mulai ikut-ikutan wudhu, ikut-ikutan sujud, minta kopiah dan sarung, minta diajak ke masjid (cari masjid yang bacaannya toleran sama anak-anak). Makin lama rasa suka ini membangkitkan fitrah keimanannya, ajak ke alam, kenalkan bahwa planet-planet juga sholat, burung-burung juga sholat dengan merentangkan sayapnya, dstnya. Maka ketika perintah sholat di usia 7 tahun, maka seperti pucuk dicinta ulam tiba.
Ayah bunda silahkan berkreasi menciptakan imaji-imaji positif ini melalui eksplorasi di alam, kisah-kisah dalam alQuran, cerita lucu namun inspiratif, kisah pahlawan dan para Sahabat Nabi atau orang-orang besar dstnya. Jadi fitrah keimanannya lahir melalui kesadaran. Pada usia 0-7 tahun , selain belajar di alam/senso motorik, kisah-kisah, tradisi lokal yang baik, juga bahasa ibu. Bahasa ibu ini penting dan akan menjadi bahasan khusus.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita memulai” home education?” Apa yang harus kita lakukan untuk memulainya? Kita awali dengan sedikit renungan terlebih dahulu.
Renungan Pendidikan #1
Sesungguhnya hanya kedua orangtualah yang paling kenal potensi keunikan anak-anaknya. Dari sanalah karakter-karakter baik dikembangkan dan disempurnakan dengan akhlak mulia. Kedua orangtuanya lah makhluk yang paling mencintai dengan tulus anak-anaknya. Orangtua sejati adalah mereka yang menginginkan kebahagiaan anak-anaknya lebih dari apapun di muka bumi. Dunia persekolahan adalah dunia yang tidak pernah mengandung anak-anak kita, tidak pernah melahirkan anak-anak kita bahkan tidak pernah diberi amanah oleh Allah swt sesaatpun juga, karena itu persekolahan bukanlah dunia yang sungguh-sungguh mampu mengenal dan mencintai anak-anak kita dengan tulus dan ikhlash.
Bukankah anak kita adalah alasan terbesar dan terpenting mengapa kita ada di muka bumi ini? Merekalah sebagai amanah mendidik generasi peradaban bagi dunia yg lebih damai dan sebagai amanah yang akan membanggakan Ummat Muhammad di yaumilqiyamah kelak.
Membangun “home education” bukanlah pilihan tetapi KEWAJIBAN setiap orangtua, porsi kuantitas waktu dan kualitas perhatiannya mesti jauh lebih banyak bahkan meniadakan porsi persekolahan.
Sayangnya banyak orang tua yg menganggap kewajiban mendidik telah selesai ketika anak-anak berada sepenuh waktu di sekolah dan di lembaga-lembaga kursus. Obrolan tentang pendidikan adalah obrolan seputar ranking, ijasah, prestasi-prestasi akademis dan tugas-tugas sekolah yang dibawa ke rumah, bukan tentang mengembangkan karunia fitrah yg anak-anak kita miliki.
Mari kembalikan fitrah kesejatian peran orangtua, kesejatian fungsi rumah, kesejatian pendidikan, kesejatian anak-anak kita. Jangan sekali-kali merubah fitrah kesejatian itu semua karena itulah sesungguhnya penyebab berbagai krisis dan kerusakan di muka bumi.
—————————————————————————————————————–
Mungkin ada yang masih bingung dengan pernyataan ‘meniadakan porsi persekolahan’ diatas. Persekolahan adalah lembaga pengajaran bukan lembaga pendidikan. Sekolah mengajarkan anak skill supaya pandai (misalnya pandai besi) dan mengajarkan knowledge supaya pintar (pintar matematika, kimia). Jangan sampai porsi mendidik dikalahkan oleh porsi mengajar, pada tahap awal perkembangan anak (0- 7tahun) justru porsi sekolah sebaiknya ditiadakan karena tahap ini sepenuhnya tanggungjawab orang tua. Pada tahap mulai bergeser dari ego ke sosial awal (8-10 tahun) boleh peran pendidik komunitas atau jamaah mulai masuk, Namun tetap fokusnya untuk menggali potensi-potensi fitrahnya bukan skill & knowledge formal. Pada tahap usia 11-14 tahun ketika anak-anak mulai menjelang aqilbaligh (usia 15 – 16 tahun), ketika mulai ajeg aqidahnya, sholatnya, bakatnya mulai konsisten, dll maka pengajaran skill dan knowlegde yang relevan dan mendukung bakat dan karakternya boleh dikembangkan.
Meng-outsource pendidikan anak ke pihak lain idealnya dan sebaiknya secara penuh setelah anak berusia aqil baligh. Sejak usia 0-7 tahun sebaiknya orangtua full bersama anak-anaknya. Usia 8-14 tahun boleh dikombinasi dengan tahapan dari seminimal mungkin kombinasi sampai optimal di usia 14 tahun. Tanggungjawab penuh tetap pada orangtuanya.
Program dan portofolio atau personalized education anak kita tetap di tangan kita. Inilah peran pendidikan orangtua, yang sejak bergabung di group ini telah kita mulai perlahan-lahan.. Jangan khawatir, banyak best practice yang proven dari Bunda Septi dkk yang akan dishare, yang sesuai konsep pendidikan sejati.
Pendidikan berbeda dengan persekolahan. Kurikulum pendidikan nasional hanya memadai untuk persekolahan, dan jauh memadai dari pendidikan secara utuh. Persekolahan hanya fokus pada skill, knowledge, serta sedikit karakter.
Bersekolah maupun tidak, peran kita harus dominan. Sayangnya, biasanya dominasi sekolah membuat para ortu hanyut dalam prosesnya. Lingkup Mendidik akhirnya menyempit menjadi membuat PR, menyiapkan ujian, membantu tugas-tugas sekolah dstnya. Pastikan ini tidak terjadi, jika terjadi sesungguhnya kita menyia-nyiakan masa mendidik anak-anak kita.
Bayangkan istilah “Pekerjaan Rumah” sudah berubah maknanya, seharusnya adalah aktifitas bersama di rumah menjadi tugas-tugas sekolah dan diberi nama pekerjaan rumah. Anak-anak kita, sepanjang hari dalam hidupnya sebelum mencapai aqilbaligh, memerlukan pendamping yang telaten, ikhlash, penuh cinta, memahami dan bersabar tingkat tinggi terhadap potensi dan karakter uniknya. Mohon maaf, pak Harry meragukan ada lembaga bisa seikhlash, sepenuh cinta, sepenuh sabar seperti Ayah Bunda semua. Jadi jangan sia-siakan waktu kita dan waktu anak kita dalam pendidikan.
Tentang boarding school/pesantren/asrama bagi anak-anak. Tentu menitipkan anak pada “keluarga sholeh” (sosok ayah bunda lengkap) juga dianjurkan Nabi saw, namun menurut pak Harry, jika menyimak sirah Nabawiyah, itu setelah usia 8-9 tahun dan tidak full, karena sosok ayah bunda mesti tetap hadir sampai usia aqilbaligh. Nabi mulai diasuh oleh paman dan kakeknya (komunitas) sejak berusia 8-9 tahun, dibawa magang ke Syams dsbnya.
Ulama Indonesia dahulu membangun tradisi Surau di Sumatera, anak-anak yang berusia 8-9 tahun ke atas, malu kalau masih tidur di rumah. Nah ini adalah kombinasi pendidikan keluarga dan komunitas dalam rangka persiapan aqil baligh. Anak-anak pada usia itu mulai memahami nilai sosial, ego nya bergeser kepada kesadaran dirinya sebagai makhluk sosial. Jadi sangat baik jika mulai berada pada sosial masyarakatnya. Perlahan-lahan sesuai tahapan usianya. Sampai aqil baligh dan mandiri. Namun surau maupun pesantren tempo dulu ini ada dekat-dekat rumah dan konsepnya bukan asrama/ boarding tetapi stayhome. Dititipkan pada Kyai dan Nyai Pesantren atau rumah ustadz di sekitar pesantren.
Sebagai manusia tentu kita memiliki keterbatasan dalam ilmu dan pengetahuan tertentu dan memang perlu dibantu oleh jamaah/komunitas atau juga ulama/maestro.
Namun perhatikan tahapan usia kapan dititipkan dan perhatikan bahwa Islam mengenal homestay namun tidak mengenal boarding. Perlu juga diingat bahwa mendidik akhlak dan keimanan berbeda dengan memahami ilmu agama.
Saat kita bercerita tentang Rasulullah, para sahabat maupun sejarah orang-orang besar kepada anak-anak, tentu adegan kekerasan dan bahasa kekerasan dihindari / diskip aja. Apalagi usia 2-9 tahun. Seorang Sahabat bahkan menasehati Bahwa mendidik keberanian anak, bukan dengan pedang namun bahkan dengan mendidik Sastra.
Rasulullah saw adalah orang paling lembut tuturnya, halus bahasanya, namun paling pemberani. Hati dan jiwa yang penuh cinta dan keharmonian akan rela syahid demi melawan kezhaliman. Kita bisa menonjolkan aspek sastra kepahlawanannya daripada kekerasannya misalnya kisah Hindun mengunyah Jantung Hamzah, ini di skip saja, tidak jelas juga manfaatnya. Kisah peperangan tidak perlu terlalu ditampilkan rinci, misalnya sampai diceritakan siapa menusuk siapa pada bagian mana.
Memulai ‘Home Education’ adalah memulai untuk mendidik diri kita sebagai orangtua. Memulai mendidik diri kita sebagai orangtua adalah diawali dengan membaca ayat-ayat Allah, baik Qouliyah maupun Kauniyah, kemudian mensucikan diri kita untuk mengembalikan fitrah-fitrah yang baik yang Allah telah karuniakan kepada kita. Mengembalikan kesadaran akan peran-peran kesejatian kita sebagai orangtua. Pekerjaan mendidik adalah pekerjaan para Nabi sepanjang sejarah. Tiada aktifitas dan peran paling penting di dalam rumah kita kecuali peran dan aktifitas mendidik anak-anak kita.
Mendidik anak-anak kita adalah membangkitkan kesadaran fitrah anak-anak kita, Karenanya para orangtua perlu mengawali dengan mengembalikan fitrah-fitrah baiknya melalui tazkiyatunnafs lebih dulu. Fitrah yang baik pada anak-anak kita akan bertemu dengan fitrah yang baik yang ada dalam diri orangtua nya. Apa yang keluar dari fitrah yang baik, akan diterima oleh fitrah yang baik. Fitrah keimanan pada anak-anak kita akan bertemu dengan fitrah keimanan kedua orangtuanya. Fitrah belajar pada anak-anak kita akan bertemu dengan fitrah belajar kedua orangtuanya. Fitrah potensi bakat pd anak-anak kita akan bertemu dengan fitrah pengakuan potensi anak-anaknya sebagai karunia Allah swt, dari keduaorangtuanya. Fitrah tahapan perkembangan sesuai sunnatullah pertumbuhan anak, akan bertemu dengan fitrah pengakuan bahwa segala sesuatu di muka bumi memiliki sunnatullah perkembangannya masing-masing. Dan seterusnya Tanpa memulai dengan ini maka perjalanan home education adalah perjalanan yang menjauh dari fitrah, berisi obsesi-obsesi dan kecenderungan merusak fitrah karena ambisi tertentu maupun ketergesaan dalam tahapannya. Jadi memulai HE berawal dari bagaimana kita para orang tua membangkitkan kesadaran fitrah kita sendiri dengan melakukan tazkiyatunnafs atau pensucian jiwa.
Dengan fitrah Allah itulah manusia diciptakan, tidak ada yang berubah dari ciptaan Allah. Pada galibnya fitrah tidak dapat berubah, yang terjadi adalah tersimpangkan atau terpendam selamanya. Inilah peran kita, sebagai orangtua, yaitu menemani anak-anak kita untuk menjaga fitrahnya agar tidak tersimpangkan atau terpendam. Menemani anak-anak kita untuk menjaga fitrahnya adalah karunia tiada terkira, sehingga kitapun sebagai orangtua dalam proses mendidik fitrah ini, jika konsisten maka akan ikut terjaga fitrahnya. Kita akan menemukan banyak keberkahan dan banyak perbaikan dari fitrah-fitrah kita yang menyimpang sepanjang kita mendidik anak-anak kita sesuai fitrahnya. Misalnya berapa banyak orang yang keras hatinya lalu menjadi luluh hatinya dan taubat hanya karena “melihat” anaknya melakukan sesuatu atau karena ditegur oleh anak yang masih bersih fitrahnya dsbnya.
Apalagi jika kita terus bersama mendampingi mereka dalam keseharian mereka hingga aqil baligh.
Dalam surat Al-Jumu`ah: 2 – “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Ayat ini adalah jawaban atas Doa Nabi Ibrahim alaihisalam tentang generasi yang akan dibangkitkan dari keturunannya.
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As-Sunnah) serta
mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS 2 Al Baqoroh Ayat 129)
Ada tahapan berbeda dari kedua ayat.
Doa Nabi Ibrahim as adalah “pembacaan”, “pengajaran” kemudian “pensucian”
Jawaban Allah adalah “pembacaan” dan “pensucian” dahulu baru kemudian proses “pengajaran” (ta’limunal-Kitaba walHikmah).
Kata Tazkiyah atau pensucian oleh beberapa ulama dimaknakan sebagai Tarbiyah atau menumbuhkan fitrah yg merupakan inti pendidikan itu sendiri, Sedangkan pengilmuan atau pengajaran bersifat pemberian skill & knowledge.
Ada hadits yg mengatakan jika seseorang fitrahnya masih lurus, andai bertemu Nabi Muhammad saw, maka pasti langsung beriman. Melakukan tazkiyatunnafs adalah mengembalikan kesadaran-kesadaran kita akan fitrah-fitrah yang baik pada diri kita. Tujuan tarbiyah atau pendidikan bagi siapapun adalah lahirnya kesadaran yg tinggi. Kesadaran yang tinggi akan keimanan, janji-janji dan syahadah kita pada Allah swt, kesadaran kita pada peran dan misi penciptaan, kesadaran bahwa tiap makhluk diberi jalan kebaikan oleh Allah swt dstnya. Tentu saja dengan banyak bertaubat, memperbanyak kedekatan dgn Allah dengan amal ibadah dan amal sholeh, meninggalkan maksiat, waro terhadap yang halal dan syubhat serta menjauhi yang haram. Orangtua kita dahulu menyebut dgn kata-kata sederhana, “tirakat buat anak”. Maksudnya menjalani thoriqot perbuatan-perbuatan baik agar menjadi bekal bagi keberkahan dan keshabaran dalam mendidik anak.
Ketika kita semakin dekat dengan Allah, doa-doa terpanjatkan setiap saat untuk anak-anak kita, maka kesadaran-kesadaran akan lahir, cara kita memandang anak kita akan berbeda. Kita tdk obsesif, rileks dan tdk panik, yakin akan janji-janji Allah, mengakui fitrah-fitrah baik dan sifat-sifat unik anak-anak kita dengan positif dan baik sangka. Ketenangan jiwa, baik sangka pada Allah, keyakinan bahwa tiada anak yang dilahirkan buruk dstnya akan membuat kita memiliki pensikapan yang baik dan benar terhadap perjalanan pendidikan anak-anak kita.
Kita sungguh memerlukan pijakan yang kokoh, jiwa-jiwa yang full ridha menjalaninya. Sejujurnya HE ini melawan arus baik konsep maupun praktek pendidikan yg umumnya kita samakan dengan persekolahan atau pengajaran. Pendidikan sebagaimana pengantar diawal adalah proses “inside out”, membangkitkan fitrah-fitrah dalam diri anak-anak kita
Bukan proses penjejalan /”outside in”.
Setiap anak kita terlahir dalam keadaan fitrah (fitrah keimanan, fitrah belajar, fitrah bakat, fitrah perkembangan dll), namun semua fitrah itu adalah potensi-potensi terpendam, maka tugas kitalah untuk mendidik/membangkitkan/menumbuhkan potensi fitrah itu agar anak-anak kita mencapai peran peradabannya atau misi spesifiknya sebagai khalifah di muka bumi.
Diantara empat fitrah utama yang ada pada anak tersebut ada fitrah bakat. Dalam proses mengenali bakat/ potensi keunikan anak, bisa dimulai dengan pengamatan. Para orang tua pasti sudah mengenal keunikan sepintas tiap anak sejak dalam kandungan. Pada usia 0-7 terlihat dari aktifitas-aktifitas yang dia sukai. Jika seneng bersih-bersih sejak usia 8 bulan, maka akan terus begitu sampai usia 80 tahun. Mulai usia 8-10 tahun, perbanyak wawasan dgn beragam aktifitas yang menjadi minat dan kesukaan produktifnya. Persekolahan mulai tingkat dasar dstnya biasanya tidak memberi peluang dan waktu cukup bagi anak-anak untuk berbagai aktifitas yang diminatinya, kecuali Ekskul, itupun jika ada. Anak-anak fokus pada pembelajaran akademik formal. Anak-anak yg memang berbakat dan bergaya akademik formal mungkin cocok dgn model persekolahan, namun banyak anak-anak juga yang tidak cocok dengan model demikian. Misalnya hanya suka bahasa, hanya suka robot, hanya suka gambar, hanya suka ngomong dll.
Jika wawasannya bamyak dan beragam maka akan mudah ditemukan potensinya hanya dengan pengamatan. Tools dan pertemuan psikolog sebaiknya dilakukan jika ingin memastikan dan mendalami. Sepengetahuan pak Harry banyak psikolog tidak merekomendasikan fingerprint.
Dalam QS. Ar-Ra’d ayat 11 Allah berfirman:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Banyak yang menggunakan ayat ini sebagai argumen untuk belajar atau bekerja keras agar Allah mengubah keadaanya menjadi lebih baik. Padahal maksud ayat ini adalah agar manusia tidak mengubah fitrahnya (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) sehingga masa depan kehidupannya menjadi lebih buruk.
Yang terakhir di atas adalah nasehat dari ustadzuna Ferous.
Memahami bahwa mengapa kita menamakan dengan Home Education bukan Home Schooling? Karena pendidikan berbeda dengan persekolahan, mendidik tidak sama dengan mengajar, HE bukanlah memindahkan sekolah ke rumah. HE bukan menjejalkan pengetahuan namun menyadarkan, membangkitkan fitrah-fitrah. Jika fitrah-fitrah ini bangkit maka anak-anak akan beriman dengan sendirinya, belajar tangguh dengan sendirinya, mengembangkan bakat dengan sendirinya, menjalani kehidupan sesuai tahap-tahap perkembangan dengan sendirinya. Memulai Teknis HE akan terasa mudah dan ringan jika kita memulai dari kesadaran ini.
Sebagai orang tua kita harus yakin terlebih dahulu bahwa kita mampu untuk bisa melakukan HE dengan baik karena sesungguhnya pada galibnya setiap orang tua sudah memenuhi kriteria dan syarat untuk menjalankan HE, karena sudah layak diamanahi karunia anak oleh Allah swt. Home Education hanya istilah yang mudah diingat untuk mengembalikan peran pendidikan kepada rumah atau keluarga. Amanah mendidik anak tidak bisa didelegasikan kepada siapapun. Lembaga rumah telah ada jauh sebelum ada lembaga-lembaga lain seperti sekolah. Pendidikan Usia 0-7 sepenuhnya tanggungjawab kita sebagai orang tua, usia 8-14 mulai perpaduan rumah dan komunitas/jamaah.
Tidak hanya para bunda yang berperan penting dalam menjalankan HE. Peran ayah pun tak kalah penting. Peran ayah dalam HE adalah seperti peran para Nabi terhadap keluarganya, yang bukan Nabi namun luarbiasa dalam mendidik adalah Luqmanul Hakiem, seorang ayah yang diabadikan namanya oleh alQuran karena wasiat-wasiatnya pada anak-anak nya. Mohon maaf belum ada nama ibu yang diabadikan sebagai nama surat dalam alQuran karena nasehat-nasehatnya.
Penelitian menyebutkan bahwa anak lelaki yang tidak dekat dengan ayahnya berpeluang ENAM kali kena narkoba. Sementara anak wanita yang tidak dekat dengan ayahnya akan (maaf) mudah menyerahkan kehormatannya pada pria yang bukan suaminya. Pak Harry mendapat info dari ust Adriano, tetapi belum dikonfirmasi sumbernya. Namun para psikolog dan penggiat parenting selalu mendorong peran ayah dalam pendidikan rumah. Ayah adalah sosok ketegasan, pembuat hukum dan penyedia sumber.
Semoga kita para orang tua dapat menjadi orang tua teladan terbaik bagi anak-anak kita. Karenanya kita butuh ilmu, butuh wawasan bagaimana mengantarkan & menemani tumbuh kembang anak-anak kita, apalagi di jaman digital sekarang dimana arus informasi begitu melimpah ruah hampir-hampir sulit dikontrol. Tak sedikit orang tua yang berharap anak-anaknya menjadi pembelajar yang baik namun sudahkah kita sebagai orang tua meneladankan untuk gemar belajar? Khususnya belajar menjadi orang tua yang sebenar-benarnyanya bagi anak-anak kita.
Bersambung…